Ikut Ayah atau Ibu?

Sunday, May 27, 20120 komentar

Aku bingung, aku tidak tahu, aku harus ikut siapa. Ayah atau Ibu? Ayah menginginkanku dan saudaraku tinggal bersama ayah, ibu juga menginginkan hal yang sama.
Aku hidup di lingkungan keluarga yang penuh dengan masalah. Ibu selalu menguasai ayah dan kami. Ibu berperan sebagai kepala rumah tangga, dan membatasi peran ayah dalam memberikan nafkah dan sering berteriak.
Aku penasaran. Mengapa suasana rumahku seperti ini, tidak harmonis layaknya rumah tangga orang lain? Lambat laun aku tahu, ternyata factor utama yang menciptakan suasana rumah jadi tegang seperti ini, karena bapak ibuku tidak sinkron, mereka selalu berbeda pendapat. Tidak jarang, kulihat mereka berdua terlibat dalam perselisihan sengit, karena peredaan visi, misi, dan pola gidup mereka berdua.
Demi Allah aku tidak akan menikah dengan laki-laki yang tidak sejiwa, tidak semisi, tidak sevisi, dan tidak sejalan denganku. Tapi, bukan berarti aku ingin menikah dengan laki-laki yang harus sejalan denganku dalam segala hal.

Karena kemiripan perliaku suami-istri juga membawa ke suasana yang membosankan. Tapi, bukan juga berarti seseorang harus mencari pendamping hidup yang berbeda sama sekali. Karena akibatnya nanti bisa fatal. Rumah tangganya akan selalu diwarnai perselisihan sengit. Pertikaian kedua orang tua akan berdampak negative kepada anak-anaknya. Damapak lain yang akan terjadi dalam rumah tangga ini, masing-masing mereka berdua akan mengklaim dirinya yang benar, sementara orang lain selalu dianggap salah.

Padahal, kebenaran mutlak hanya milik Allah. Sementara kebenaran manusia bisa saja benar atau salah, dan kesalahan yang dilakukannya bisa saja benar atau salah. Begitulah ilmu filsafat yang kutekuni mengajariku. Pelajaran ini, mempunyai dampak positif yang sangat besar dalam memahami dimensi-dimensi tragedy yang kuhadapi. Filsafat yang kupelajari juga telah membantuku bagaimana meminimalisir dampak tragedy yang berlangsung di rumahku terhadap diriku, kemudian terhadap saudara-saudaraku dan ayahku, juga terhadap ibuku.

Salah satu bentuk dampak perilaku ayah dan iu, kakak perempuan sulungku memutuskan untuk menikah, karena trauma dengan perilaku kedua orang tua. Dengan susah payah, kubujuk dia sehingga aku berhasil membuatnya mau mengerti dan memahami letak keslahan rumah tangga yang tidak harmonis, bukan pernikahan itu sendiri, akan tetapi dalam menentukan pendamping hidup. Tanpa bermaksud mengurangi rasa hormatku kepada ayah dan ibu. Aku katakana dengan sejujurnya, bahwa mereka berdua salah memilih calon pendamping hidup yang pas.

Pada akhirnya kakak sulungku mau menerima pinangan seorang laki-laki yang mempunyai kepribadian yang luar biasa dan yang paling penting laki-laki itu selaras dengan pola hidup dan kepribadian kakakku.
Aku senantiasa berdoa kepada Allah, agar Allah memberikan nikmat kebahagiaan dalam hidupnya. Kami hanya dituntut untuk berusaha, kemudian kami menenangkan diri sendiri dengan keyakinan bahwa dengan rahmat-Nya lah yang akan membimbing hidup kami, dan Allah akan memberikan ketentraman dalam hidup kami. Sementara ayah dan ibu selalu berselisih dalam segala hal. Ayah suka membanggakan diri, karena terlahir sebagai orang yang lahir dan dibesarkan di desa. Bagaimana dia membangun kepribadiannya dan mengatakan laki-laki yang ideal dan kuat seperti dirinya merupakan kunci kesuksesan di dunia. Ayah tidak pernah putus asa menjalani strategi hidupnya. Akan tetapi, dia selalu sabar dan tabah memikul seluruh beban hidup, hingga bisa mencapai sukses besar, dan dia tergolong orang-orang kaya raya dan orang-orang yang sukses dalam pekerjaannya. Ahkan dia termasuk dalam deretan orang yang paling berpengalaman, bukan sekadar di tingkat nasional, akan tetapi juga di tingkat regional, yairu dunia Arab.

Lain ayah lain ibu

Aku perhatikan ibu selalu membanggakan diri, karena kemolekan wajahny, karena dari keluarga bansawan, dan dari keluarga yang serba ada. Ibu mempunyai hak untuk melakukan itu. Dia tidak pernah mengaku sesuatu yang tidak bertentangan degan realita. Kemudian dia bercerita tentang istana bapaknya, yang penuh dengan pegawai istana. Tentang bapaknya yang dikelilingi para menteri, yaitu orang-orang penting di Negara. Sambil bercerita keindahan istana, ibu menunjukkan album foto keluarganya yang hidup mewah di istana. Album itu memang menggambarkan keagungan orang-orang istana.

Seberapa besar pun kekuatan orang untuk mengkhayal, tapi dia tidak akan pernah mengkhayalkan peristiwa yang berlangsung beberapa jam hari yang ini, antara ayah dan ibu. Mereka berdua sedang berkumpul.
Ibu selalu menegur cara berbicara dan makan ayah. Ibu juga menyampaikan ketidaksukaannya ketika ayah mengenakan pakaian-pakaian longgar di rumah. Ayah masih menyimpan model pakaian seperti itu, karena termasuk pakaian yang mempunyai kenangan khusus. Tapi terlintas dalam pikiran ayah, bahwa suatu ketika pakaian-pakaian ayah yang tidak disukai ibu akan diserahkan ke sebuah museum.

Api pertikaian semakin berkobar. Pertiakaian akan tampak reda, jika salah seorang diantara kami ada yang besedia melerai. Ibu suka memaksakan kehendak kepada ayah. Karena ibu merasa bahwa dia lebih banyak tahu daripada ayah tentang pola hidup ideal. Menurut ibu, latar belakang ayah mencerminkan bahwa ayah tidak banyak tahu tentang pola hidup.

“jika kalian sudah bersikap demikian, biasanya ayah selalu mengalah, karena ayah tidak mau terjadi permasalahan-permasalahan yang lebih besar lagi, dan aktivitas ayah tidak terganggu,” tutur ayah kepada kami suatu hari.

Setiap kali tejadi pertikaian, ayah selalu mengingatkan ibu, “Jangan lupa sebelum kita menikah, kamu tahu persis dari mana asalku. Dulu, kami tidak pernah mempermasalahkan itu, karena menginginkan mendapatkan kekayaan dengan cara dari hasil keringatku sendiri.”

Tentu saja ibu akan menangis, mendengar kata-kata yang menohok hatinya. Tentu ibu merasa bahwa dia sudah melakukan kesalahan yang besar dalam hidupnya, karena menikah dengan seorang laki-laki yang tidak bisa memperlakukan perempuan dengan baik. 

Kami lagi-lagi harus ikut campur. Kami harus melerai. Kami tidak boleh membiarkan pertikaian ini terus berlanjut. Tapi, jujur kami bosan terus menerus menghadapi kondisi dan suasana seperti ini. Aku berusaha meneldani kelebihan masing-masing kedua orang tuaku, dengan mencampakkan kekurangan masing-masing. Jujur, aku salut terhadap kepekaan ibu dalam soal pakaian, ungkapan, dan makanan. Dalam hal ini, aku harus banyak belajar dari ibu. Aku juga harus meneladani kesabaran ayah, dan obsesinya untuk menjadi orang nomer satu dan istimewa, dan selalu haus akan kesuksesan.

Tapi, aku tidak boleh mencontoh kepribadian ibu yang suka bersikap sombong kepada orang lain. Aku juga tidak boleh mencontoh kepribadian ayah yang kadang suka cuek kepada orang lain, dengan cara yang tidak aku sukai. Aku merasa sepertinya ayah sengaja bersikap demikian untuk memancing amarah ibu. Ini perilaku yang salah. Setiap kali kami ingin memancing amarah orang lain, kami selalu merasa ahwa kami bertindak bodoh kepada diri kami sendiri, sebelum bertindak bodoh kepada orang lain.

Aku juga merasa bingung dan letih, karena aku harus bertanggungjawab untuk meminimalisir dampak negative terhadap psikologi saudara-saudaraku, atas perselisihan sengit kedua orang tuakau yang meledak setiap saat. Sungguh, ini tanggung jawab yang amat berat. 

dikuti dari: (Renew your Marriage, Mohammad Al-Khady)
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. SAHABAT PENA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger