Aku bingung, aku
tidak tahu, aku harus ikut siapa. Ayah atau Ibu? Ayah menginginkanku dan
saudaraku tinggal bersama ayah, ibu juga menginginkan hal yang sama.
Aku hidup di
lingkungan keluarga yang penuh dengan masalah. Ibu selalu menguasai ayah dan kami.
Ibu berperan sebagai kepala rumah tangga, dan membatasi peran ayah dalam
memberikan nafkah dan sering berteriak.
Aku penasaran. Mengapa
suasana rumahku seperti ini, tidak harmonis layaknya rumah tangga orang lain? Lambat
laun aku tahu, ternyata factor utama yang menciptakan suasana rumah jadi tegang
seperti ini, karena bapak ibuku tidak sinkron, mereka selalu berbeda pendapat. Tidak
jarang, kulihat mereka berdua terlibat dalam perselisihan sengit, karena
peredaan visi, misi, dan pola gidup mereka berdua.
Demi Allah aku
tidak akan menikah dengan laki-laki yang tidak sejiwa, tidak semisi, tidak
sevisi, dan tidak sejalan denganku. Tapi, bukan berarti aku ingin menikah
dengan laki-laki yang harus sejalan denganku dalam segala hal.
Karena kemiripan
perliaku suami-istri juga membawa ke suasana yang membosankan. Tapi, bukan juga
berarti seseorang harus mencari pendamping hidup yang berbeda sama sekali. Karena
akibatnya nanti bisa fatal. Rumah tangganya akan selalu diwarnai perselisihan
sengit. Pertikaian kedua orang tua akan berdampak negative kepada anak-anaknya.
Damapak lain yang akan terjadi dalam rumah tangga ini, masing-masing mereka
berdua akan mengklaim dirinya yang benar, sementara orang lain selalu dianggap
salah.
Padahal,
kebenaran mutlak hanya milik Allah. Sementara kebenaran manusia bisa saja benar
atau salah, dan kesalahan yang dilakukannya bisa saja benar atau salah. Begitulah
ilmu filsafat yang kutekuni mengajariku. Pelajaran ini, mempunyai dampak
positif yang sangat besar dalam memahami dimensi-dimensi tragedy yang kuhadapi.
Filsafat yang kupelajari juga telah membantuku bagaimana meminimalisir dampak tragedy
yang berlangsung di rumahku terhadap diriku, kemudian terhadap
saudara-saudaraku dan ayahku, juga terhadap ibuku.
Salah satu
bentuk dampak perilaku ayah dan iu, kakak perempuan sulungku memutuskan untuk
menikah, karena trauma dengan perilaku kedua orang tua. Dengan susah payah,
kubujuk dia sehingga aku berhasil membuatnya mau mengerti dan memahami letak
keslahan rumah tangga yang tidak harmonis, bukan pernikahan itu sendiri, akan
tetapi dalam menentukan pendamping hidup. Tanpa bermaksud mengurangi rasa hormatku
kepada ayah dan ibu. Aku katakana dengan sejujurnya, bahwa mereka berdua salah
memilih calon pendamping hidup yang pas.
Pada akhirnya
kakak sulungku mau menerima pinangan seorang laki-laki yang mempunyai kepribadian
yang luar biasa dan yang paling penting laki-laki itu selaras dengan pola hidup
dan kepribadian kakakku.
Aku senantiasa
berdoa kepada Allah, agar Allah memberikan nikmat kebahagiaan dalam hidupnya. Kami
hanya dituntut untuk berusaha, kemudian kami menenangkan diri sendiri dengan
keyakinan bahwa dengan rahmat-Nya lah yang akan membimbing hidup kami, dan
Allah akan memberikan ketentraman dalam hidup kami. Sementara ayah dan ibu
selalu berselisih dalam segala hal. Ayah suka membanggakan diri, karena
terlahir sebagai orang yang lahir dan dibesarkan di desa. Bagaimana dia
membangun kepribadiannya dan mengatakan laki-laki yang ideal dan kuat seperti
dirinya merupakan kunci kesuksesan di dunia. Ayah tidak pernah putus asa
menjalani strategi hidupnya. Akan tetapi, dia selalu sabar dan tabah memikul
seluruh beban hidup, hingga bisa mencapai sukses besar, dan dia tergolong
orang-orang kaya raya dan orang-orang yang sukses dalam pekerjaannya. Ahkan dia
termasuk dalam deretan orang yang paling berpengalaman, bukan sekadar di tingkat
nasional, akan tetapi juga di tingkat regional, yairu dunia Arab.
Lain ayah lain
ibu
Aku perhatikan
ibu selalu membanggakan diri, karena kemolekan wajahny, karena dari keluarga
bansawan, dan dari keluarga yang serba ada. Ibu mempunyai hak untuk melakukan
itu. Dia tidak pernah mengaku sesuatu yang tidak bertentangan degan realita. Kemudian
dia bercerita tentang istana bapaknya, yang penuh dengan pegawai istana. Tentang
bapaknya yang dikelilingi para menteri, yaitu orang-orang penting di Negara. Sambil
bercerita keindahan istana, ibu menunjukkan album foto keluarganya yang hidup
mewah di istana. Album itu memang menggambarkan keagungan orang-orang istana.
Seberapa besar
pun kekuatan orang untuk mengkhayal, tapi dia tidak akan pernah mengkhayalkan
peristiwa yang berlangsung beberapa jam hari yang ini, antara ayah dan ibu. Mereka
berdua sedang berkumpul.
Ibu selalu
menegur cara berbicara dan makan ayah. Ibu juga menyampaikan ketidaksukaannya
ketika ayah mengenakan pakaian-pakaian longgar di rumah. Ayah masih menyimpan
model pakaian seperti itu, karena termasuk pakaian yang mempunyai kenangan
khusus. Tapi terlintas dalam pikiran ayah, bahwa suatu ketika pakaian-pakaian
ayah yang tidak disukai ibu akan diserahkan ke sebuah museum.
Api pertikaian
semakin berkobar. Pertiakaian akan tampak reda, jika salah seorang diantara
kami ada yang besedia melerai. Ibu suka memaksakan kehendak kepada ayah. Karena
ibu merasa bahwa dia lebih banyak tahu daripada ayah tentang pola hidup ideal. Menurut
ibu, latar belakang ayah mencerminkan bahwa ayah tidak banyak tahu tentang pola
hidup.
“jika kalian
sudah bersikap demikian, biasanya ayah selalu mengalah, karena ayah tidak mau
terjadi permasalahan-permasalahan yang lebih besar lagi, dan aktivitas ayah
tidak terganggu,” tutur ayah kepada kami suatu hari.
Setiap kali
tejadi pertikaian, ayah selalu mengingatkan ibu, “Jangan lupa sebelum kita
menikah, kamu tahu persis dari mana asalku. Dulu, kami tidak pernah
mempermasalahkan itu, karena menginginkan mendapatkan kekayaan dengan cara dari
hasil keringatku sendiri.”
Tentu saja ibu
akan menangis, mendengar kata-kata yang menohok hatinya. Tentu ibu merasa bahwa
dia sudah melakukan kesalahan yang besar dalam hidupnya, karena menikah dengan
seorang laki-laki yang tidak bisa memperlakukan perempuan dengan baik.
Kami lagi-lagi
harus ikut campur. Kami harus melerai. Kami tidak boleh membiarkan pertikaian
ini terus berlanjut. Tapi, jujur kami bosan terus menerus menghadapi kondisi
dan suasana seperti ini. Aku berusaha meneldani kelebihan masing-masing kedua
orang tuaku, dengan mencampakkan kekurangan masing-masing. Jujur, aku salut
terhadap kepekaan ibu dalam soal pakaian, ungkapan, dan makanan. Dalam hal ini,
aku harus banyak belajar dari ibu. Aku juga harus meneladani kesabaran ayah,
dan obsesinya untuk menjadi orang nomer satu dan istimewa, dan selalu haus akan
kesuksesan.
Tapi, aku tidak
boleh mencontoh kepribadian ibu yang suka bersikap sombong kepada orang lain. Aku
juga tidak boleh mencontoh kepribadian ayah yang kadang suka cuek kepada orang
lain, dengan cara yang tidak aku sukai. Aku merasa sepertinya ayah sengaja
bersikap demikian untuk memancing amarah ibu. Ini perilaku yang salah. Setiap kali
kami ingin memancing amarah orang lain, kami selalu merasa ahwa kami bertindak
bodoh kepada diri kami sendiri, sebelum bertindak bodoh kepada orang lain.
Aku juga merasa bingung dan letih, karena aku
harus bertanggungjawab untuk meminimalisir dampak negative terhadap psikologi
saudara-saudaraku, atas perselisihan sengit kedua orang tuakau yang meledak
setiap saat. Sungguh, ini tanggung jawab yang amat berat.
dikuti dari: (Renew your Marriage, Mohammad Al-Khady)
Post a Comment