1. Terpenjara Ungkapan
Business is business, demikian ungkapan yang sering kita dengar dari sementara
pelaku bisnis dalam memberi penegasan terhadap pengertian bisnis. Bahkan mereka
yang bukan pe-bisnis-pun pandai pula mengucapkan ungkapan itu. Coba renungkan,
apa betul kita sudah sepakat dengan apa yang dimaksud dengan ungkapan : bisnis
adalah bisnis ?
Dalam kehidupan sehari-hari, bisnis lazim dimaknai sebagai
sebuah kegiatan dalam menjalankan sebuah usaha atau transaksi dagang dalam berbagai
bentuk yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan ( profit ) berupa uang atau
materi lainnya yang dapat dijadikan uang. Singkatnya : melakukan sesuatu untuk
mendapatkan uang guna memenuhi tuntutan kebutuhan yang bernama : self interest.
Dalam dunia yang penuh dengan perburuan materi, tingkat
keberhasilan seseorang sering kali diukur dari jumlah materi atau asset yang
berhasil dikumpulkannya. Semakin banyak asset, semakin tinggi nilai
keberhasilannya. Sebuah bentuk penilaian yang berorientasi kepada goal ( hasil
akhir ) tanpa perlu melihat CARA atau PROSES yang ditempuh untuk memperoleh
hasil tersebut.
Selaku seorang muslim yang mengaku beragama Islam, dapatkah kita
sepakat dengan pemahaman tentang bisnis yang demikian? Benarkah kita ber-bisnis
hanya demi uang ? Tidak adakah dimensi lain yang lebih luhur dari sekedar uang?
Andaikata masih ada keraguan dalam menjawab pertanyaan diatas, saya khawatir
sebetulnya kita sudah terperangkap dalam slogan ‘ bisnis adalah bisnis ‘ yang
begitu mudah mengucapkannya tanpa paham akan maknanya…
II. Konsep Manusia dan Tenaga Kerja
Kehadiran manusia selaku khalifatullah dimuka bumi diberi amanah untuk menjaga seluruh isi alam dan menggubahnya sedemikian rupa agar memberi manfaat yang sebesar-besarnya terhadap kemaslahatan manusia dan kemanusiaan. Allah Maha Pencipta telah menyediakan segala macam unsur isi alam yang dibutuhkan sehingga manusia tidak perlu lagi bersusah payah menciptakan unsur-unsur baru kecuali menggabung beberapa unsur yang telah ada untuk melahirkan sebuah kesatuan baru.
Kehadiran manusia selaku khalifatullah dimuka bumi diberi amanah untuk menjaga seluruh isi alam dan menggubahnya sedemikian rupa agar memberi manfaat yang sebesar-besarnya terhadap kemaslahatan manusia dan kemanusiaan. Allah Maha Pencipta telah menyediakan segala macam unsur isi alam yang dibutuhkan sehingga manusia tidak perlu lagi bersusah payah menciptakan unsur-unsur baru kecuali menggabung beberapa unsur yang telah ada untuk melahirkan sebuah kesatuan baru.
Dengan akal yang dimilikinya, manusia berkesempatan menciptakan
nilai tambah atas segala isi alam untuk dimanfaatkan secara bersungguh-sungguh
dan bertanggung jawab, penuh perhitungan dalam bentuk hasil produksi yang
terencana. Hasil produksi ( baca : penghasilan, uang, harta ) dalam berbagai
ujud bukanlah sebuah tujuan akhir melainkan harus dipersembahkan kembali
manfaatnya secara adil kepada kelangsungan hidup manusia. Konsep kapitalisme
yang terlanjur menjadi sebuah paham yang mendunia dalam bidang ekonomi sungguh
tidak diragukan lagi jumlah penganutnya. Namun dapatkah kapitalisme menjamin
terujudnya keadilan sosial bagi masyarakat luas ? Mampukah ia menjembatani
jurang lebar antara penduduk dunia yang miskin dan yang kaya ?
Saat ini, didepan mata kita terpampang sebuah potret ketimpangan
ekonomi yang sangat nyata buah kapitalisme yang ternyata jauh dari keadilan
ekonomi yang bermuatan nilai-nilai spiritual illahiah. Kehampaan akan
nilai-nilai illahiah itulah yang membuat si kaya merasa tidak peduli dengan si
miskin. Sementara kecemburuan sosial yang dirasakan si miskin dapat menjurus
menuju pertentangan dan perpecahan. Jadi, harus ada pertanggung-jawaban manusia
kepada Allah Yang Maha Pencipta yang telah menganugerahinya dengan akal
pikiran, ilmu pengetahuan, keahlian, dan kemampuan membuat nilai tambah.
Apabila hal ini tidak dijadikan prasyarat terhadap konsep keberadaan manusia,
maka sangat mungkin status ‘ khalifatullah ‘ hanyalah sebuah gelar kosong.
Jadi, unsur manusia dalam tatanan ekonomi yang ideal hendaknya
tidak dilihat sebagai mesin pengumpul harta demi kekayaan pribadi, melainkan
sebagai agen penyeimbang yang dapat membantu si miskin karena sesungguhnya
dalam setiap butir harta yang dimiliki si kaya itu terdapat hak si miskin. ( to
be continued )
Finaldo
http://finaldo77[dot]wordpress[dot]com/
Post a Comment