Sejak kecil, aku
sudah menyadari bahwa aku berbeda dengan siswi-siswi lain yang sama-sama duduk
di bangku sekolah Dasar. Meski sebagian besar dari kami mempunyai keserupaan
nasib. Kami sama-sama dari keluarga tidak mampu dan dibesarkan dalam lingkungan
masyarakat yang sangat memprihatinkan.
Tapi aku merasa
berbeda dengan mereka dalam dua hal pokok. Pertama, selain aku siswi yang
berprestasi, aku juga mempunyai ambisi yang tinggi. Sejak dini aku sudah
mempunyai cita-cita untuk meneruskan studiku setinggi mungkin. Aku ingin
menjadi dokter yang sukses, sehingga aku bias mengobati orang sakit.
Kedua, aku
dikaruniai kecantikan luar biasa oleh Allah. Tidak ada yang menyangkal
kebenaran itu.
Kecantikanku kadang
menjadi pemicu kecemburuan beberapa wali murid di sekolahku. Mereka juga
menginginkan anaknya secantik aku. Pernah kudengar salah seorang diantara
mereka yang berdoa, setelah dikaruniai anak laki-laki, dia memohon agar
dikaruniai anak perempuan yang kecantikannya sama seperti aku.
Mula-mula tindakan
mereka aku anggap aneh, meskipun aku tidak bias menutupi banwa apa yang mereka
lakukakan adalah tindakan tolol.
Yang penting,
aku sekali-kali tidak akan membiarkan tipu daya dalam bentuk apa pun
menghinggapiku. Aku tidak akan iarkan pemuda menggodaku. Pada era sekarang ini
betapa banyak orang yang iseng, karena banyaknya pengangguran.
Kupatrikan semangat
dan cita-citaku di dalam hatiku bahwa aku harus melanjutkan studi hingga
sukses. Namun, pada saat yang sama, aku tidak akan lalai untuk mengerjakan
tugas rumah, yaitu membantu ayah menawarkan dan menjual sayur-mayur ke
rumah-rumah tetangga. Aku tidak pernah minder dan gengsi karena harus menjual
sayur.
Selama halal dan
tidak merusak reputasi kenapa harus merasa gengsi, pikirku.
Justru aku
merasa bangga, dan lebih beruntung dari beberapa teman sekolahku. Karena diantara
ada yang untuk membiayai mereka, ibunya harus bekerja sebagai PRT (pemantu
rumah tangga). Kondisi ini, membuat teman-temanku sering olos sekolah, karena
sepulang dari sekolah, setibanya di rumah tidak ada yang mengawasi.
Aku berjanji
kepada diriku sendiri untuk selalu membantu ayah. Aku harus bangga dan
menikmati pekerjaanku ini. Karena, dibandingkan saudara perempuanku yang lain,
aku satu-satunya yang melanjutkan studi ke jenjang SMP. Guru-guru di sekolah
smp, tempat aku mengenyam pendidikan, selalu memberikan informasi yang dapat
memompa semangat kami untuk menatap masa depan yang cemerlang. Aku harus
belajar ekstra, karena aku tidak mengikuti les atau belajar privat seperti
anak-anak orang mampu.
Di saat aku ikut
belajar untuk persiapan mengikuti Ujian Akhir Nasional, untuk mendapatkan
ijazah SMP, aku dikagetkan dengan sesuatu yang sama sekali sebelumnya tidak
pernah terlintas dalam pikiranku.
Sebelumnya aku
selalu menolak laki-laki yang meminangku. Ayah mendukung keputusanku dengan alas
an yang berbeda-beda. Kadang, karena ayah tidak setuju pada laki-laki yang
meminang, atau karena terlalu tua. Bias juga karena dia datang dari daerah
lain, yang mengagumi kecantikanku, untuk dinikmati sesaat.ada juga, karena
laki-laki mempersuntingku sudah eristri. Aku juga tidak mau dimadu. Aku tahu,
bahwa islam tidak dilarang berpoligami. Aku setuju. Tapi tidak bagi suamiku.
Tapi, kali ini
laki-laki yang meminangku mempunyai banyak kelebihan, sehingga ayah tidak
mempunyai alas an untuk menolak rayuan dan bujukannya.
Ayah meminta
maksud baik laki-laki tersebut untuk menikahiku.
Ayah sama sekali
tidak mau mempedulikan protes dan keberatanku yang kusampaikan pada ayah.
Diantara keberatan
yang kukeluhkan kepada ayah, karena belum saatnya aku menikah dan masih terlalu
muda. Aku juga masih mempunyai obsesi dan cita-cita yang harus kucapai. Aku tidak
ingin membebani suamiku untuk membiayai studiku. Selulus SMP, aku akan member kursus
bagi anak-anak tetangga, aku sudah mempersiapkan segala-galanya………..
Yang lebih
mengagetkan lagi, kedua saudara perempuanku setuju dengan ayah. Bahkan, mereka
berdua mengklaimku sebagai anak egois. “Apa kamu tidak sadar, jika kamu tetap
tidak menikah untuk beberapa tahun ke depan, itu berarti kamu tidak akan
menikah selama-lamanya. Setiap laki-laki yang datang untuk meminang ke rumh
ini, selalu menginginkan kamu karena diantara kami kamulah yang paling menarik
dan terpelajar. Jika kamu egois seperti itu, sama saja kamu menzalimi kami”. Kata
salah seorang saudara perempuannya dengan kasar.
Bukankah jodoh
itu merupakan scenario Tuhan. Apakah kamu tidak percaya bahwa jodoh itu sudah
ditetapkan oleh Tuhan?” Jawabku dengan snatun dan ramah.
“omong kosong! Jika
kamu tidak mau menerima lamaran laki-laki istimewa ini, kami akan memaksamu
menikah dengan laki-laki yang melamarmu dalam waktu dekat ini. Seharusnya kamu
gunakan otakmu dan mau menikah dengannya. Dia masih kuran apa? Dia laki-laki
yang berpendidikan, juga masih ada ikatan family dengan kita. Dia tidak
mempermasalahkan asal-usulmu meski dari keluarga biasa. Ekonominya pun sudah
mapan, sehingga kamu tidak perlu lagi berkeliling dijalanan menawarkan sayur mayor.
“bentak mereka secara bersamaan, memotong pembicaraanku.
Ingat! Kami mencintaimu.
Kami bersikap kasar kepada kamu, semata-mata kemaslahatanmu. “tambah salah
seorang diantara mereka”
“Tidakkkkkkkkkkkkkkk!
Justru demi kemaslahatn kalian berdus. Justru sikap kalian inilah bentuk egois
yang paling mrnjijikkan. Aku tidaka akan kubiarkan kalian menjegsl obsesiku. Secara
hokum belum saatnya aku menikah. Usiaku masih 16 tahun! Lagi pula apa kalian
tidak tahu, bahwa agama melarang menikahi dengan orang yang tidak disetujui, “
teriakku memprotes klaim salah seorang saudara prempuanku .
Kuungkapkan pendapatku
ini di depan ayah dan kedua saudara perempuanku. Seketika ayahku tampak sedih dan
cemas. Tentu aku kaget. Ahkan ayah tidak mau berbicara denganku, dalam waktu
yang cukup lama.
Tindakan ayah
merupakan pukulan ayah yang sangat menyakitkanku. Aku berdoa kepada Allah, agar
ayah segera kembali ke kondisi semula.
Doaku ternyata
terkabulkan. Akhirnya ayah mau berbicara denganku. “Nak kamu harus tahu, apa
yang kamu katakana merupakan pukulan berat agi ayah. Sebenarnya, ayah juga
ingin mempunyai anak yang berhasil menyelesaikan studinya hingga mempunyai
gelar dokter, agar kelak isa memperbaiki keadaan hidup kita. Akan tetapi, aku
sadar bahwa aku tidak akan mampu membiayaimu dan menuruti obsesimu.
Satu hal yang
perlu kamu ingat, jika kamu tidak menikah, berarti kamu menghalangi kedua
saudara perempuanmu untuk mendapatkan pendamping hidup. Tentu saja, itu tidak
bijaksana.
Lagipula aku
tidak mempunyai banyak hartauntuk membiayai resepsi kalian. Tunanganmu ini
merupakan kesempatan emas yang tidak boleh disia-siakan.dia sanggup menanggung
seluruh biaya pernikahan, tanpa meminta dari kita biaya sepersen pun.
Aku tidak
mempunyai pilihan. Aku harus patuh terhadap tuntutan mereka. Aku harus
mengorbankan diriku sendiri. Demi kebahagiaan keluargaku. Satu-satunya syarat
yang kuajukan kepada mereka, aku harus diberikan kesempatan untuk menyelesaikan
studiku yang tinggal sedikit waktu lagi. Mereka menyetujui syarat yang kuajukan
meski dengan terpaksa.
Tanggal pernikahan
sudah semakin dekat. Aku merasakan kesedihan yang sangat mendalam. Aku tidak
memiliki kesempatan dan kemampuan untuk mengundurkan diri. Untuk mengimbangi
perasaanku, kuhibur diriku dengan impian yang menyenangkan, bahwa setelah
menikah kelak, aku akan erhasil membujuk suamiku agar aku bisa melanjutkan
studiku.
Pada saat yang
sama, aku harus menyiapkan mental, jika ternyata dia tidak setuju, aku harus
berpura-pura padahal sebenarnya bertentangan dengan nurani dan keinginanku. Tapi,
mau apa lagi aku tidak mampu berbuat apa-apa. Yang tertanam dalam benakku,
bahwa aku akan berjuan hingga titik darah penghaisan, agar putriku kelak bisa
meneruskan studinya bisa melanjutkan studinya hingga program doctoral. Aku tidak
akan membiarkan siapa pun mencoba menghalangi putriku untuk melanjutkan
studinya.
sumber: (Renew your Marriage, Mohammad Al-Khady)
Post a Comment