Lain dulu lain sekarang. Sekarang
ini zaman St.Nurhaliza bukan lagi zaman
St.Nurbaya, seperti itu kalimat sebagian kawula muda zaman sekarang ini.
Istilah ini memungkinkan seseorang untuk mengikuti trend serba IPTEK ini.
Sudah
banyak wanita yang bekerja di luar demi menafkahi dirinya sendiri dengan
bekerja di berbagai macam sector mulai dari sector swasta sampai pada kancah
politik sebagai politikus. Disamping itu adapula wanita yang berolah karir
mengelola isnisnya mulai dari skala kecil hingga skala besar maupun dari desa
sampai kota. Inilah wanita-wanita yang tangguh dalam memecahkan suatu masalah ekonomi
yang serba krisis ini.
Tidak
dapat dipungkiri lagi bahwa jumlah wanita yang sukses dalam berkarir masih
sedikit disbanding dengan pria. Hal ini disebabkan karena wanita menyandang dua
predikat atau memiliki status yang berbeda. Satu sisi sebagai wanita karir yang
mencoba mencari aktualisasi diri dalam profesi. Sisi lainnya, wanita adalah ibu
rumah tangga yang dituntut untuk mengurus rumah, dan membesarkan anak-anak.
Sebagai wanita sangat bimbang memiliki dua status. Namun lain halnya dengan masalah ekonomi dalam keluarga, wanita tidak sungkan-sungkan juga mengambil alih sebagai pencari nafkah di dalam keluarganya demi membantu sang suami. Lain halnya jika dirinya akan aktif di luar secara riil apakah dirinya akan total demi pekerjaannya itu ataukah hanya sekedar bekerja saja? Ataukah yang penting mendapat penghasilan agar tercukupi kebutuhan keluarga?
Kenyataanya
wanita selalu kalah dengan pria. Padahal jika ditinjau dari segi kuantitas
maupun kualitas entry point wanita dan pria juga relative sama dan tentunya
jumlah wanita dan pria juga tidak terpaut banyak. Akhirnya wanita merasa gamang
untuk bekerj dan selalu ragu dalam bertindak.
Status
wanita sebagai ibu rumah tangga nampaknya memang menjadi kendala utama bagi
wanita pekerja. Dalam masyarakat patriarkhi, pria berperan sebagai kepala
keluarga, bertanggungjawab atas semua kebutuhan keluarga. Sementara, wanita
atau ibu berperan sebagai ibu rumah tangga, mengurus rumah, menjaga, mendidik,
dan membesarkan anak-anak. Inilah model pembagian kerja secara seksual. Antara
pria (ayah) dan wanita (ibu) sudah punya batas wilayah sendiri-sendiri dalam
hal pekerjaan. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban pria untuk keluar rumah
bekerja mencari nafkah. Sebaliknya, menjadi keharusan bagi wanita untuk tinggal
di rumah mengurus rumah dan anak-anak.
Jadi
ada faham patriarkhi yang menempatkan wanita tidak memiliki peran ekonomis
dalam rumah tangga. Hal inilah yang selalu menjadi masalah pada pasangan suami
isteri. Sehingga wanita merasa dituntut untuk bekerja. Tanggungjawab pria sepenuhnya
atas ekonomi rumah tangga. Akibatnya, wanita menjadi sangat tergantung pada
pria. Sehingga keluarlah falsafah Jawa bahwa, wanita itu suwarga nunut neraka
katut. Kalau sang pria (ayah) sukses dan kaya, sang wanita (ibu) ikut mulia,
namun bila sang pria gagal dan miskin, sang wanita ikut sengsara pula hidupnya.
Seiring
waktu berubah jaman pun ikut berganti. Hal inilah yangbanyak terjadi jaman tren
ini bahwa tidak selamanya pria (suami) mampu mencukupi kewajibannya secara ekonomis.
Kebanyakan pria, walaupun sudah bekerja keras menguras keringat, tetap saja
tidak mampu mencukupi kebutuhan rumah tangganya. Namun wanita (istri) secara
tidak langsung mengambil sikap (radikal) karena kondisi yang tidak stabil. Jika
telah bekerja berarti wanita mengambil sebagian peran ekonomis pria. Akhirnya wanita
pula tidak main-main ikut menafkahi keluarga, minimal bisa menafkahi dirinya
sendiri dalam rumah tangga.
Jadi
intinya wanita bekerja itu sekedar membantu suami. Menutup kantong suami yang kosong
berhasil dalam menafkahi rumah tangganya. Tidak masalah jika wanita itu masih
lajang artinya belum ada beban fokusnya sama pekerjaan sendiri. Tapi jika
wanita itu sudah berumah tangga mungkin terlalu sulit untuk bersaing karena
sudah ada beban keluarga. Jika wanita disuruh memilih antara karir dan
keluarga, pastinya kemungkinan terbesar memilih keluarga.
Status
ganda wanita nampaknya yang membelenggu wanita bekerja dalam berkarir. Wanita
tidak hanya sepenuhnya memberikan dirinya (kemampuannya) untuk beraktualisasi
diri, sehingga lebih mudah mengalah dengan membiarkan peluang yang semestinya
mampu diraihnya, direbut oleh pria yang bisa saja kualitasnya berada di
bawahnya. Alasan pembenaran dari sikap itu juga tetap sama: pertama, dia tidak
ingin “lebih unggul” dari suami (seringkali bahkan memang suami yang melarangnya
untuk unggul), dan kedua, dia merasa bekerja hanya sebagai penambah isi kantong
yang kurang.
Pada
jaman pahlawan terkenal kita RA Kartini sebagai pelopor emansipasi wanita mendorong
wanita berperan aktif dalam kehidupan sosial ekonomi bukan hanya sekedar
sebagai pelengkap (membantu suami), bahkan sebagai mitra atau partner
(pendamping suami) dengan hak dan kewajiban yang seimbang. Jika pria (suami)
harus berprestasi untuk beraktualisasi maka, wanita (isteri) juga harus
berkompetisi untuk sampai puncak karir.
Jadi,
yang diperlukan wanita pekerja tren ini adalah memperbaharui motivasi
bekerjanya. Bukan hanya “sekedar membantu suami” namun berusaha menjadi
“beraktualisasi diri”.
Post a Comment