Wanita Miliki Status Ganda

Tuesday, May 8, 20120 komentar

Lain dulu lain sekarang. Sekarang ini zaman St.Nurhaliza bukan lagi zaman St.Nurbaya, seperti itu kalimat sebagian kawula muda zaman sekarang ini. Istilah ini memungkinkan seseorang untuk mengikuti trend serba IPTEK ini.








Sudah banyak wanita yang bekerja di luar demi menafkahi dirinya sendiri dengan bekerja di berbagai macam sector mulai dari sector swasta sampai pada kancah politik sebagai politikus. Disamping itu adapula wanita yang berolah karir mengelola isnisnya mulai dari skala kecil hingga skala besar maupun dari desa sampai kota. Inilah wanita-wanita yang tangguh dalam memecahkan suatu masalah ekonomi yang serba krisis ini.
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa jumlah wanita yang sukses dalam berkarir masih sedikit disbanding dengan pria. Hal ini disebabkan karena wanita menyandang dua predikat atau memiliki status yang berbeda. Satu sisi sebagai wanita karir yang mencoba mencari aktualisasi diri dalam profesi. Sisi lainnya, wanita adalah ibu rumah tangga yang dituntut untuk mengurus rumah, dan membesarkan anak-anak.

Sebagai wanita sangat bimbang memiliki dua status. Namun lain halnya dengan masalah ekonomi dalam keluarga, wanita tidak sungkan-sungkan juga mengambil alih sebagai pencari nafkah di dalam keluarganya demi membantu sang suami. Lain halnya jika dirinya akan aktif di luar secara riil apakah dirinya akan total demi pekerjaannya itu ataukah hanya sekedar bekerja saja? Ataukah yang penting mendapat penghasilan agar tercukupi kebutuhan keluarga?  
Kenyataanya wanita selalu kalah dengan pria. Padahal jika ditinjau dari segi kuantitas maupun kualitas entry point wanita dan pria juga relative sama dan tentunya jumlah wanita dan pria juga tidak terpaut banyak. Akhirnya wanita merasa gamang untuk bekerj dan selalu ragu dalam bertindak.
Status wanita sebagai ibu rumah tangga nampaknya memang menjadi kendala utama bagi wanita pekerja. Dalam masyarakat patriarkhi, pria berperan sebagai kepala keluarga, bertanggungjawab atas semua kebutuhan keluarga. Sementara, wanita atau ibu berperan sebagai ibu rumah tangga, mengurus rumah, menjaga, mendidik, dan membesarkan anak-anak. Inilah model pembagian kerja secara seksual. Antara pria (ayah) dan wanita (ibu) sudah punya batas wilayah sendiri-sendiri dalam hal pekerjaan. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban pria untuk keluar rumah bekerja mencari nafkah. Sebaliknya, menjadi keharusan bagi wanita untuk tinggal di rumah mengurus rumah dan anak-anak.
Jadi ada faham patriarkhi yang menempatkan wanita tidak memiliki peran ekonomis dalam rumah tangga. Hal inilah yang selalu menjadi masalah pada pasangan suami isteri. Sehingga wanita merasa dituntut untuk bekerja. Tanggungjawab pria sepenuhnya atas ekonomi rumah tangga. Akibatnya, wanita menjadi sangat tergantung pada pria. Sehingga keluarlah falsafah Jawa bahwa, wanita itu suwarga nunut neraka katut. Kalau sang pria (ayah) sukses dan kaya, sang wanita (ibu) ikut mulia, namun bila sang pria gagal dan miskin, sang wanita ikut sengsara pula hidupnya.
Seiring waktu berubah jaman pun ikut berganti. Hal inilah yangbanyak terjadi jaman tren ini bahwa tidak selamanya pria (suami) mampu mencukupi kewajibannya secara ekonomis. Kebanyakan pria, walaupun sudah bekerja keras menguras keringat, tetap saja tidak mampu mencukupi kebutuhan rumah tangganya. Namun wanita (istri) secara tidak langsung mengambil sikap (radikal) karena kondisi yang tidak stabil. Jika telah bekerja berarti wanita mengambil sebagian peran ekonomis pria. Akhirnya wanita pula tidak main-main ikut menafkahi keluarga, minimal bisa menafkahi dirinya sendiri dalam rumah tangga.
Jadi intinya wanita bekerja itu sekedar membantu suami. Menutup kantong suami yang kosong berhasil dalam menafkahi rumah tangganya. Tidak masalah jika wanita itu masih lajang artinya belum ada beban fokusnya sama pekerjaan sendiri. Tapi jika wanita itu sudah berumah tangga mungkin terlalu sulit untuk bersaing karena sudah ada beban keluarga. Jika wanita disuruh memilih antara karir dan keluarga, pastinya kemungkinan terbesar memilih keluarga.
Status ganda wanita nampaknya yang membelenggu wanita bekerja dalam berkarir. Wanita tidak hanya sepenuhnya memberikan dirinya (kemampuannya) untuk beraktualisasi diri, sehingga lebih mudah mengalah dengan membiarkan peluang yang semestinya mampu diraihnya, direbut oleh pria yang bisa saja kualitasnya berada di bawahnya. Alasan pembenaran dari sikap itu juga tetap sama: pertama, dia tidak ingin “lebih unggul” dari suami (seringkali bahkan memang suami yang melarangnya untuk unggul), dan kedua, dia merasa bekerja hanya sebagai penambah isi kantong yang kurang.
Pada jaman pahlawan terkenal kita RA Kartini sebagai pelopor emansipasi wanita mendorong wanita berperan aktif dalam kehidupan sosial ekonomi bukan hanya sekedar sebagai pelengkap (membantu suami), bahkan sebagai mitra atau partner (pendamping suami) dengan hak dan kewajiban yang seimbang. Jika pria (suami) harus berprestasi untuk beraktualisasi maka, wanita (isteri) juga harus berkompetisi untuk sampai puncak karir.
Jadi, yang diperlukan wanita pekerja tren ini adalah memperbaharui motivasi bekerjanya. Bukan hanya “sekedar membantu suami” namun berusaha menjadi “beraktualisasi diri”.
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. SAHABAT PENA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger